Akad Musyarakah
Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil allamiin, yang artinya yaitu rahmat bagi seluruh alam.
Islam diturunkan kepada umat manusia untuk mengatur tatanan kehidupan, agar
memiliki pribadi dan tingkah laku luhur yang sesuai dengan ajaran agama islam.
Islam adalah agama yang sempurna. Di dalam agama islam, telah di atur banyak
hal seperti, bagaimana kehidupan bermasyarakat, berpolitik, spiritual, budaya,
ekonomi, maupun muamalah. Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai salah satu
poin yang ada dalam ajaran islam, yaitu muamalah.
Muamalah adalah, sebuah hubungan atau
interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya, yang sesuai dengan
syariat islam, sebab manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa
hidup atau berdiri sendiri. Di dalam sebuah hubungan tersebut, tatanan manusia
telah di atur dan dibatasi dengan adanya hak dan kewajiban. Hak adalah sesuatu
yang harus ia peroleh, misalnya dari pihak lain. Sedangkan kewajiban adalah
sesuatu hal yang harus ia lakukan untuk memenuhi aturan yang telah berlaku.
Untuk dapat menjadi manusia yang progresif,
maka diperlukan sistem interaksi yang baik. Dalam muamalah sendiri, tidak hanya
terdapat hanya satu kegiatan, melainkan banyak. Contoh dalam kehidupan
sehari-hari yang termasuk bermuamalah adalah, pernikahan, sewa-menyewa, perburuhan,
pinjam-meminjam, dan jual beli. Salah satu hal terpenting dalam bermuamalah
yaitu adanya ijab qabul. Ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh si pemberi,
sedangkan qabul adalah ucapan yang diucapkan oleh si penerima. Dalam sebuah
transaksi membutuhkan adanya ijab qabul. Ijab qabul menandakan bahwa sebuah
transaksi yang sedang dijalankan menjadi sah atau sukarela antara kedua belah
pihak.
Dalam kondisi sekarang ini, kegiatan
bermuamalah antar manusia sangat terbatas di karenakan sebuah pandemi Covid-19
yang belum juga usai. Oleh karena itu, kegiatan bermuamalah yang seharusnya
dilakukan secara intens, yaitu
bertemuanya kedua belah pihak yang sedang melakukan muamalah, harus di batasi
dengan beberapa cara. Tidak jarang, banyak orang yang mengeluhkan kondisi ini.
Bagaimana tidak, segala kebiasaan yang telah menjadi adat sekarang menjadi
berubah dan berbeda, juga harus melakukan penyesuaian agar mampu bertahan
hidup. Salah satu hal yang sangat berdampak pada manusia yaitu perekonomian.
Banyak pihak-pihak yang merugi dan kekurangan bahkan kehilangan banyak hasil
perekonomian karena dampak dari pandemi. Untuk itu, kita harus pandai-pandai
meningkatkan perekonomian kita meski berada di tengah-tengah pandemi seperti
ini. Entah itu membanting stir dari proses perekonomian sebelumnya, lalu
berganti usaha perekonomian yang lebih menguntungkan dalam suasana pandemi.
Atau pun meningkatkan hasil perekonomian atau bertahan dengan kegiatan
perekonomian sebelumnya dan mengubahnya menjadi lebih menarik dalam pasaran.
Memperhatikan proses atau langkah dalam kegiatan-kegiatan berekonomi yang
sesuai dengan kebutuhan, lingkungan, juga kemampuan sangatlah penting untuk
membantu meningkatkan kembali hasil ekonomi yang mampu untuk menghidupi
kebutuhan sehari-hari.
Di masa-masa saat ini, banyak sekali pihak
yang berlomba-lomba untuk menghidupkan kembali perekonomiannya. Dari sekian
banyak usaha yang dilakukan banyak orang, ada beberapa jenis usaha yang banyak
sekali dinikmati atau dilakukan demi peningkatan ekonomi. Salah satunya yaitu
menanam modal. Hal ini dilakukan seorang pihak atau nasabah untuk melakukan
usaha-usaha yang telah ia rencanakan. Untuk meringankan modal awal yang
diambil, seorang nasabah dan pihak bank yang terkait akan menyatukan modal mereka.
Lalu nasabah akan memulai sebuah bisnis atau usaha yang akan ia jalankan. Dan
keuntungan dari pada usaha atau bisnis itu sendiri akan dibagi hasil dengan
pihak bank. Kasus tersebut dinamakan dengan Musyarakah.
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua
belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan, (Antonio, 2011:90). Jadi,
dalam akad musyarakah, terdapat kesepakatan bagi hasil yang nantinya akan
dipergunakan oleh kedua belah pihak yang telah berkontribusi memberikan dana
atau modal tersebut. Dalam akad ini, akan memberikan kemudahan dan keringanan
bagi pemilik usaha yang mencari investor untuk usahanya. Sang pemilik usaha
juga dapat berinfestasi karena modal yang dikeluarkan juga lebih sedikit. Akad
musyarakah sangat diperbolehkan dalam muamalah yang sesuai dengan syariat.
Tentu saja, ada beberapa dalil-dalil yang melandasinya, yaitu pada Q.S. Ash Shad ayat 28. Pada ayat tersebut Allah
SWT berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada
sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan
amat sedikitlah mereka ini.“. Kemudian diperkuat dengan hadist
qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla berfirman:
Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya
tidak berkhianat kepada yang lainnya. Jika terjadi penghianatan, maka aku akan
keluar dari mereka. (HR Abu Daud)”. Dari dalil di atas
menunjukkan bahwa Allah member kita kemudahan dalam urusah dunia khususnya
dalam bermuamalah tanpa ada khianat dan dusta.
Dilansir dari Qaswa.id bahwa
akad musyarakah telah
memiliki fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yaitu pada Fatwa DSN No:
08/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa tersebut dikeluarkan atas beberapa pertimbangan
diantaranya:
1.
Kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraan dan usaha terkadang memerlukan bantuan dari pihak lain yang mana
itu bisa tercapai dengan salah satu caranya adalah musyarakah.
2.
Pembiayaan musyarakah nyatanya
memiliki keunggulan baik dari segi kebersamaan juga dalam hal keadilan.
3. Bila cara-cara tersebut dapat disesuaikan dengan syariah maka DSN perlu menetapkan fatwa tentang musyarakah agar bisa menjadi pedoman lembaga keuangan syariah (LKS)
Akad
musyarakah sendiri memiliki beberapa rukun yaitu; 1) Ijab Kabul, 2) Kedua belah
pihak yang berakad, 3) Objek yang akan di akadkan, 4) Nisbah bagi hasil. Untuk
melakukan akad musyarakah, selain harus dipenuhi hukumnya. Syarat
atas akad tersebut juga harus dipenuhi. Secara umum syarat untuk melakukan
akad musyarakah adalah sebagai berikut:
1. Salah satu pihak diperbolehkan untuk mewakilkan
proses akad tersebut.
2. Persentase
pembagian hasil atau keuntungan diketahui oleh masing-masing pihak pada saat
akad berlangsung.
3. Keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama.
Jenis-Jenis Akad Musyarakah
1. Musyarakah
Pemilikan
Keadaan ini berlaku jika
ada dua pihak atau lebih berbagi warisan yang sama, wasiat, atau yang lainnya,
yang menyebabkan terjadinya kepemilikan bersama sebuah aset oleh pihak-pihak
tersebut. Dalam hal ini, keuntungan dibagi berdasarkan yang dihasilkan oleh
aset tersebut.
2. Musyarakah Akad
Musyarakah akad terjadi
berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak pemilik terkait dalam
suatu usaha. Adapun akad ini terbagi dalam beberapa jenis:
1.
Al-In’an
Syirkah in’an terjadi
antara dua pihak atau lebih yang memberikan modal dalam jumlah berbeda, dan
keuntungan dibagi berdasarkan besaran porsi modal masing-masing yang telah
disetorkan. Jadi bila ada dua orang yang bersyirkan dengan syirkah inan
katakanlah si A dan si B. Maka modal si A tidak akan sama penyetorannya dengan
modal si B
2.
Mufawadah
Syirkah ini
terjadi antara dua pihak atau lebih yang memberikan modal dengan jumlah yang
sama, dan keuntungan serta kerugian yang terjadi ditanggung bersama dalam
jumlah sama besar. Jadi bila ada dua orang yang bersyirkah dengan syirkah mufawadah katakanlah
si A dan si B. Maka modal si A dan si B disetorkan dalam jumlah yang sama.
3.
A’mal/Abdan
Syirkah a’mal atau
juga disebut sebagai syirkah abdan adalah terjadinya kerja
sama antara dua orang dengan profesi yang sama untuk menerima tawaran proyek
pekerjaan tertentu, dan keuntungan dibagi rata sesuai laba dari pekerjaan yang
dilakukan. Berbeda dengan dua syirkah sebelumnya yang
menyertakan kontribusi berupa uang. Pada syirkah abdan, kedua
belah pihak tidak menyetorkan uang melainkan skill/pekerjaan.
4.
Wujuh
Syirkah wujuh kerja
sama atau percampuran antara pihak pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki
kredibilitas ataupun kepercayaan. Syirkah wujuh dinamakan demikian karena
syirkah ini hanya mengandalkan wujuh (wibawa dan nama baik) para anggota,
pembagian untung rugi dilakukan secara negosiasi diantara para anggota.
Manfaat yang ditimbulkan dari akad ini
adalah; pertama, lebih menguntungkan karena berdasarkan prinsip bagi hasil; dan
kedua, fasilitas yang diberikan adalah mekanisme pengembalian pembiayaan yang
fleksibel (bulanan atau sekaligus di akhir periode). Modal musyarakah dalam
perbankan syariah dari pihak bank memberikan modal lebih besar hampir 90% dari
total modal keseluruhan, sedangkan nasabah lebih sedikit membiayai modal usaha.
Padahal musyarakah dalam fiqih, kontribusi prosentase modal yang diberikan
jumlahnya harus sama antara bank dan nasabah. Resiko usaha ditanggung oleh
pihak nasabah selaku pemilik usaha. Pihak bank hanya pemberi modal dan
monitoring dalam proses penyerahan modal. Jika di tengah pelaksanaan terjadi
hambatan atau permasalahan, maka pihak bank akan mengambil keputusan yaitu
pengambilan/ pencabutan modal, atau perpanjangan kontrak demi tercapainya
proses usaha tersebut. Keputusan yang akan di ambil sepenuhnya tergantung
kesepakatan dari pihak bank.
Tujuan dari pada syirkah itu sendiri adalah
memberi keuntungan kepada karyawannya, memberi bantuan keuangan dari sebagian
hasil usaha koperasi untuk mendirikan ibadah, sekolah dan sebagainya. Adapun
manfaat-manfaat yang muncul dari pembiayaan Musyarakah adalah meliputi: 1)
lembaga keuangan akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat, 2) pengembalian pokok pembiayaan
disesuaikan dengan cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak
memberatkan nasabah, 3) lembaga keuangan akan lebih selektif dan hati- hati
mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, 4) prinsip bagi
hasil dalam musyarakah atau musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap
dimana bank akan menagih pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis
ekonomi (Antonio, 2001: 133-134).
Implementasi musyarakah dalam perbankan
syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti: 1.) Pembiayaan
Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan
setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi
hasil yang telah disepakati untuk bank. 2.) Modal Ventura Pada lembaga keuangan
khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan,
musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan
untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau
menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Prinsip bagi hasil secara luas dilaksanakan
tergantung pada peranan nasabah dalam mengelola proyek usaha musyarakah,
kontribusi modal diberikan dari kedua belah pihak yaitu nasabah dan bank.
Bagian keuntungan yang diberikan kepada nasabah berdasarkan atas pertimbangan
manajemen usaha musyarakah tergantung pada kualitas kerjanya dan tingkat
keahlian yang dimilikinya. Semakin tinggi kualitas kerja dan tingkat keahlian
yang dimiliki nasabah, maka akan mempertinggi persentase keuntungan yang akan
diterima nasabah. Apabila pada masa akhir kontrak musyarakah ternyata terjadi
kerugian, yang tidak disebabkan kelalaian, kesalahan manajemen atau pelanggaran
pihak nasabah terhadap ketentuan kontrak, maka kerugian tersebut dibagi antara
kedua belah pihak menurut tingkat persentase modal yang disertakan dalam
kontrak. Sebaliknya jika kerugian tersebut akibat dari kelalaian, kesalahan
manajemen, atau pelanggaran pihak nasabah terhadap ketentuan kontrak, maka
nasabah harus bertanggung jawab atas semua kerugian tersebut.
Dengan demikian musyarakah yang digunakan
dalam bank Islam bentuknya bervariasi, bank syariah tampaknya cenderung dominan
menggunakan bentuk musyarakah dalam perdagangan untuk jangka waktu pendek,
meskipun bentuk lainnya tetap dipergunakan. Dalam pembiyaan musyarakah
kontribusi modalnya berasal dari bank dan nasabah, pihak bank mengawasi
bagaimana usaha musyarakah dijalankan, hingga bank memastikan menerima
pengembalian investasi awal yang diberikan beserta keuntungan yang diperoleh.
Bank juga meminta berbagai macam garansi yang dijadikan untuk melindungi
kepentingannya dalam usaha tersebut, dan dengan garansi ini kelihatannya bank
berusaha melempar segala resiko usaha musyarakah kepada nasabah. Bank juga
menentukan batas waktu bagi berlakunya kontrak musyarakah. Di sini tidak ada keseragaman
di antara bank-bank syariah dalam menjalankan metode bagi hasil. Walaupun
metode yang digunakan bermacam-macam namun esensinya sama. (Saeed, 2003: 124)
Dalam perbankan syariah tidak diperkenankan
meminta jaminan karena dalam pendanaan Islam yang terpenting adalah
kepercayaan, sehingga transaksi musyarakah tidak boleh mengandalkan jaminan
karena dengan adanya jaminan tidak akan meneropong watak, karakter dari nasabah
karena hanya mengandalkan jaminan yang dapat menutup kerugian. Setiap kontrak
perlu ditentukan masa berlakunya, karena kebanyakan kontrak musyarakah,
khususnya dalam bentuk perdagangan, dilakukan untuk jangka waktu pendek dan
untuk tujuan khusus. Jika masa berlakunya kontrak ternyata kurang, maka dapat
diperpanjang masa kontrak tersebut melalui persetujuan dari kedua belah pihak.
Kontrak musyarakah dapat diakhiri melalui persetujuan kedua belah pihak dengan
catatan bahwa pihak nasabah membayar kepada pihak bank semua tanggung jawab
yang timbul dari pemberhentian kontrak ini.
musyarakah yang telah dipraktekkan oleh
Perbankan Syariah bila ditinjau dari akad dalam literatur fiqih sudah terpenuhi
yaitu adanya ijab dan qabul, akan tetapi pembiayaan musyarakah bukanlah hanya
dilihat dari akad saja melainkan juga dari segi praktek usaha itu sendiri, cara
penentuan nisbah bagi hasilnya, maupun mengenai tanggung jawab atas kerugian.
di Perbankan Syariah masih terdapat beberapa hal yang sama dengan bank
konvensional, hal ini dapat dilihat dari nisbah bagi hasil yang ditetapkan di
awal dan sudah menjadi patokan yang tidak ditawarkan serta nominal uang yang
harus disetorkan nasabah kepada bank yang ditetapkan diawal, resiko usaha dari
akad pembiayaan tidak menjadi tanggung jawab dari kedua belah pihak, sehingga
nasabah menjadi pihak yang dirugikan. Serta adanya jaminan, dan manajemen yang
dipraktekkan oleh Perbankan Syariah yang tidak sesuai dengan musyarakah
perspektif fiqih, hal ini terlihat dari diberlakukannya jaminan atau agunan
sebagai syarat mutlak dalam pembiayaannya pada nasabah. Karena adanya hal-hal
di atas maka pembiayaan musyarakah yang dilakukan di Perbankan Syariah terdapat
unsur riba dalam praktek musyarakah.
Komentar
Posting Komentar