1 Tahun yang Sia

 



        Saya adalah penyuka puisi. Apa pun bentuknya, selalu saya nikmati dan apresiasi. Hingga secara spontan saya mampu mencipta berbait-bait puisi yang benar-benar keluar dari hati. Dan kebetulan, puisi itu selalu saya tujukan kepada seseorang yang selalu memberi saya arti. Lalu saya mengumpulkan puisi-puisi itu agar tidak hilang. Selama kurang lebih satu tahun, saya terus menulis puisi. Bait demi bait yang saya tulis, selalu melukiskan segala hal tentangnya. Akhirnya saya kepikiran untuk membukukan puisi-puisi itu. Selama satu bulan saya menunggu buku itu terbit, dan lahirlah buku puisi saya. Saya senang sekali bisa menerbitkan sebuah buku. Apalagi, buku itu adalah buku puisi yang saya tulis benar-benar tulus mengungkapkan perasaan saya kepada seseorang.

    Suatu ketika, saya menunjukkan buku puisi itu kepadanya. Saya sangat antusias sekali ingin segera menunjukkan padanya. Sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa dia pasti sangat menyukai puisi yang saya buat untuknya. Lalu, ketika saya menunjukkan padanya ... dia terharu? Tentu tidak. Dia mengatakan bahwa puisi-puisi yang saya buat jelek, tidak nyambung, tidak bermakna, monoton, nggak jelas, dan lain sebagainya. Seketika hati saya terpukul. Badan saya lemas, air mata serasa tidak mampu ditahan. 

    Lalu saya menanggapinya hanya dengan senyuman. Tanpa berkata apa-apa yang saya tunjukkan hanya senyum. Meskipun senyum getir yang saya ukir. Kemudian ketika saya sudah di tempat yang tidak lagi bersamanya, seketika air mata saya lolos. Badan saya kembali teringat perkataannya dan merasa sangat lemas. Bagaimana tidak? Satu tahun saya menulis puisi-puisi itu dengan penuh ketulusan dan rasa yang mendalam. Namun apa yang saya dapat? Teriris oleh guratan puisi yang saya tulis. Sakit? Iya. Kecewa? Sangat. Namun, saya mencoba untuk tetap ikhlas.

    Setelah kejaadian itu, saya tidak mau lagi untuk membuat puisi. Saya memutuskan untuk berhenti membuat berbagai jenis puisi. Kenapa saya lakukan itu? Karena semangat saya sudah benar-benar terpatahkan. Dan kalaupun di paksa, pasti rasanya hambar. Bukankah begitu? Mungkin seharusnya saya tidak perlu berharap lebih padanya melalui puisi-puisi yang katanya tidak bermakna.

    Saya tahu dan saya sadar bahwa puisi saya tidak bagus. Tetapi, bukankah sebaiknya mengkritik dengan cara yang baik? Ya, mau bagaimana lagi semua memang sudah seperti itu kenyataannya. Tapi, mungkin suatu saat nanti, saya pasti bisa mengembalikan semangat yang pernah jatuh. Memang benar ya, kita akan dihargai di lingkungan yang tepat. Jadi menurut saya, apa pun bentuk puisi saya, meski jelek, nggak nyambung, monoton, dan segala jenis kejelekan lainnya, pasti akan tetap dihargai oleh orang-orang yang benar-benar menghargai sebuah karya. Mungkin saya yang salah. Saya tidak bisa menempatkan diri dan terlanjur terbawa suasana dalam tempat yang saya pilih. Jadi, lain kali saya akan berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IDENTIFIKASI INDEKS DESA ZAKAT DUSUN NGLARAN DESA PAGERLOR KECAMATAN SUDIMORO KABUPATEN PACITAN

Peranan Sistem Permodalan Bank Syariah Bagi UMKM

Akad Musyarakah