15 Menit Terbatas
Tidak semua orang mampu menjadi pendengar setia. Tetapi, aku selalu berusaha menjadi pendengar segala keluh kesahnya, suka duka, canda tawa, bahkan rengekan-rengekan besar atau kecil sekali pun. Aku nyaman ketika mendengarkannya bercerita. Membahas hal-hal penting, sepele, ataupun kisah hidupnya dari dia kecil sampai sekarang dia bersamaku.
Dia menceritakan semua yang di alami tanpa ada rahasia sekecil apapun. 'Tak jarang, ketika dia bercerita pengalaman sedihnya, aku terbawa suasana hingga menangis. Dia tidak berusaha menenangkanku. Tapi, dia terus melanjutkan ceritanya hingga tamat. Ketika dia bercerita tentang kebahagiaan, pencapaian, dan juga kemenangan yang dia raih, aku sangat antusias dalam mendengarnya.
Dia bercerita tanpa ada rasa bosan, dan tanpa memperhatikan waktu. Padahal, ada hal lain yang akan dikerjakannya. Namun, dia melupakan itu saking asyiknya dengan cerita. Walau kadang, aku ragu dengan apa yang dia ceritakan itu memang benar adanya atau hanya bualannya. Tetapi itu cukup menghiburku. Cerita yang dirangkainya benar-benar seperti novel satu buku. Terdapat alur yang benar-benar tertata sempurna, tokoh-tokoh sesuai karakter masing-masing, juga suasana senang dan sedih yang dialami.
Tidak menutup kemungkinan, terkadang aku merasa bosan. Mendengarkannya bercerita tanpa ada hentinya. Bahkan, tidak ada waktu untukku bercerita. Di awal pembicaraan, aku sering menuntut jatah untuk bercerita meski sekadar 15 menit saja. Namun, tidak ada 15 menit aku bercerita, dia selalu menyela di tengah-tengah pembicaraan. Ada rasa bosan, marah, ingin pergi, tapi ... aku sadar, bahwa dia butuh tempat cerita. Katanya, dia tidak pernah senyaman ini bercerita dengan orang. Makanya aku pun ingin menyesuaikan diri untuk menjadi pendengar yang nyaman untuknya.
Sering sekali, 15 menit untukku bercerita kuberikan sedikit bahkan semua untuknya. Aku rela, jika waktu terbatasku diambilnya dan aku berperan sebagai pendengar. Awal-awal mungkin terasa aneh. Selalu mendengar hal-hal yang terkadang tidak menyenangkan sama sekali. Aku pun tidak suka dengan pembicaraannya. Tetapi aku selalu berpura-pura untuk menyukai setiap kata yang dia lontarkan. Melukiskan senyum bahkan tertawa meski terasa hambar. Sebab, kepura-puraan itu bisa membuatnya merasa bahagia. Aku sanggup, jika harus selalu begitu. Terbiasa. Ya, karena terbiasa. Dan sungguh, aku mulai tertarik untuk menjadi telinga yang selalu menerima suara-suara merdu yang keluar dari mulutnya. Dan 15 menit terbatas untukku, akan lebih berharga untuknya.
Komentar
Posting Komentar