Melukis Senja?
Andai senja mampu dilukis, aku tidak akan pernah meluskisnya. Bahkan, melukis wajahmu, orang-orang di sekitarmu, bahkan hal-hal apa saja tentangmu. Bagaimana mungkin, aku membiarkan kau terlukis dalam anggunnya semburat senja, yg menyatu dengan pesona kepribadianmu, lalu orang lain melihatmu. Apa aku mampu untuk menerimanya? Apa aku mampu untuk membiarkan orang lain meski hanya sekedar menikmati keindahanmu? Tentu saja aku akan cemburu. Bukan berati aku pelit, atau membatasi segala kebebasanmu. Hanya saja, 'tak jarang orang-orang di sekitar kita hanya ingin tau tentang kita. Mereka ingin tau bagaimana kehidupan kita, tanpa mereka membantu saat kita butuh. ya mungkin ada yang membantu. Hanya saja tidak semua. Terkadang, malah mereka ingin menjatuhkan kita. Mereka mengorek-ngorek perihal kita, lalu ketika kita sedang di ujung masalah, bukannya menarik ke pangkal eh malah di goncang, lalu jatuh.
Namun, jika doa mampu kulukis, aku akan melukismu di setiap bait-bait doa yang mengangkasa. Bukankah itu lebih indah dari melukis senja? Meski hanya mampu melangitkanmu melalui doa, namun itu akan lebih mesra dari mengirimkanmu sebuah pesan berisi perhatian. Pun belum tentu ada balasan dari sebuah pesan meski hanya singkat, sesingkat pertama aku bertemu denganmu. Aku tidak percaya yang namanya cinta pandangan pertama. Yang kupercaya yaitu cinta pertama. Karna kita suka karena terbiasa, bukan karena parasnya.
Mungkin melangitkan doa di bawah senja akan lebih indah. Agar aku bisa bersyukur sebab bisa menikmati dua keindahan sang Pencipta secara bersamaan. Kenapa sih harus senja? Kenapa nggak fajar, malam, atau siang? Ya, semuanya akan terlihat indah juga ada banyak filosofi dan pelajaran yang mampu kita ambil. Tapi, entahlah. Aku menyukai senja. Tapi bukan berati aku membenci yang lain, bukan. Hanya saja, aku cuma bisa membuka hati untuk satu rasa. Mungkin rasa yang lain juga sama indahnya dengan rasa yang aku pilih. Tapi, ya pasti ada titik kecil perbedaan yang di rasa. Kasaranya aku nggak mau berpaling dari apa yang telah menjadi sebuah pilihan. Aku tidak akan beralih dengan apa yang aku pilih. Intinya, tetap konsisten. Begitulah sebuah perumpamaan rumit yang sangat berbelit. Tapi percayalah, yang kukatakan itu sungguh. Nanti atau mungkin sudah, kalian juga pasti ngerasaain. Antara ingin konsisten, atau nggak ingin pilih kasih.
Komentar
Posting Komentar